Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Maret 2016

MENYEPI : UNTUK SEMESTA ALAM




Sudah beberapa tahun ini saya selalu merayakan Nyepi di Bali, walaupun secara indentitas KTP saya bukan penganut Hindu, tetapi hari raya Nyepi menurut saya mempunyai makna yang sangat bagus.

Berawal dari beberapa tahun lalu saya impulsif berangkat ke Bali beberapa hari sebelum Nyepi demi untuk merasakan suasana sakralnya. Kebalikan dari kebanyakan orang yang justru ketika menjelang Nyepi banyak turis dari Bali yang pulang ke tempat asalnya karena ketika Nyepi kita tidak boleh melakukan aktivitas seperti biasa.


Bali

Dari semua daerah yang sudah saya kunjungi di seluruh Indonesia hanya Bali yang memberi kesan, terutama dari keaslian budaya dan kepercayannya. Ada suatu energi yang terpancar dari tempat ini. Keramahannya sudah tentu yang membuat istimewa, tetapi lebih dari itu masyarakat Bali merupakan representatif dari budaya Nusantara jauh sebelum budaya dari barat masuk dan mewarnai Indonesia ini. Tata cara kelola dalam kemasyarakatan, kebersihan, keagamaan dan kekeluargaan pun boleh saya bilang yang terbaik di negri ini. Bali tidak pernah menutup diri terhadap globalisasi dan kebaharuan, tetapi justru di sini tradisi lokal tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Banyak orang dari seluruh dunia datang ke Bali untuk mempelajari dan memahami kehidupan seimbang di pulau ini, termasuk saya. Kedatangan saya ke Bali adalah untuk memahami pandangan spiritual masyarakatnya terhadap semesta.

Menghadap laut Bali dari atas bukit 


Upacara Nyepi

Nyepi adalah kesunyian yang dilakukan untuk menyambut Tahun Baru Saka pada penanggalan umat Hindu di Bali sebagai bentuk penyucian diri dari segala sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Walaupun penanggalan Saka berasal dari India, tetapi perayaan tahun baru dengan Nyepi hanya dilakukan di Bali. Agama Hindu Bali adalah Hindu Dharma atau Agama Tirtha. Agama Hindu Bali merupakan penggabungan kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan asli suku Bali. Ini yang membuat Hindu di Bali sangat khas karena kepercayaan asli masih dijalankan.

Sebelum Nyepi, masyarakat Bali melakukan beberapa ritual yaitu Melasti, Pecaruan dan Pengrupukan.

Melasti adalah upacara penyucian pusaka dan sarana persembahyangan di Pura yang diarak menuju danau atau laut sebagai simbol penyucian oleh Tirta Amerta, atau air suci. Dalam ritualnya semua umat dari masing-masing banjar dan berbaris rapih dengan pakaian tradisional yang kental dan membawa persembahan. Saya sendiri beberapa kali ikut dalam prosesi Melasti ini karena suasananya begitu khidmat. Dari rombongan umat selain membawa persembahan ada juga yang membawa gamelan sehingga suasana menjadi hidup dengan gamelan Bali. Para pemangku berkeliling dan memercikan air suci kepada seluruh warga yang datang serta perangkat-perangkat peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai wujud mensucian.Upacara melasti ini biasanya dilaksanakan tiga hari sebelum Nyepi. Yang menarik bagi saya adalah ketika Upacara Melasti di pantai yang menghadap matahari terbit atau terbenam karena disaat itulah keindahan alam dan nuansa spiritual menjadi sebuah perpaduan yang agung.

Upacara Melasti di Pantai Kuta

Upacara Melasti di Pantai Kuta

Pecaruan adalah ritual yang dijalankan sehari sebelum Nyepi yaitu hari Pengrupukan. Ritual ini dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dengan merawat lima unsurnya yaitu tanah, air, udara, api dan ether. Setiap keluarga biasanya menyiapkan caru atau persembahan yang terdiri dari nasi lima warna, lauk pauk ayam, brumbuhan dan juga tuak. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Malam Pengrupukan biasanya dilakukan dengan pawai Ogoh-ogoh. yaitu mengarak patung yang mudah dibakar berbentuk raksasa atau demit sebagai perlambang mengusir Batara Kala dari dalam diri manusia. Saya khusus berkunjung ke Desa Petulu di Gianyar terpatnya di Banjar Nagi karena setiap malam Pengrupukan pemuda desa ini melakukan ritual perang api dengan saling melempar sabut kelapa yang sudah dibakar. Semua ritual ini sebagai simbol mengusir nafsu dan emosi dalam diri manusia sebelum memulai tahun baru besoknya.

Perang api di Desa Petulu, Banjar Nagi, Gianyar.

Ogoh-ogoh


Setelah selesesai acara pada malam Pengrupukan semua warga desa kembali ke rumah dan mulai mematikan semua lampu di desa dan kota, jadi sebagian malam hari itu seluruh Bali sudah mulai gelap. Nyepi akan dimulai jam 6 pagi besoknya selama 24 jam dengan melakukan Catur Brata, yaitu amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.



Penghargaan untuk Manusia, Alam dan Tuhan.


Ada kalanya manusia berhenti sejenak beraktivitas, dari setahun penuh kita beraktivitas, hanya di hari Nyepi inilah kita mengalami perenungan yang dalam. Selama saya Nyepi di Bali saya merasakan banyak sekali manfaat bagi diri saya sendiri, terutama dalam menyadari hubungan antara manusia, alam dan sang pencipta. Walaupun saya bukan umat Hindu, tetapi selama Nyepi saya gunakan untuk melakukan ritual ibadah keyakinan saya sendiri. Sungguh berbeda rasanya, saya bisa merasakan bagaimana suara-suara alam yang jarang saya dengar bila sedang di kota atau di tempat lain pada umumnya. Saya bisa mendengar suara ombak dari jauh, saya bisa mendengar suara antar daun yang bergesekan, saya bisa mendengar suara serangga kecil, bahkan saya bisa mendengar hembusan nafas sendiri, suara nafas yang tidak pernah saya perhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada sebuah kesadaran yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Saya pernah bertemu seorang Biksu Buddhis dan dia memberikan saya sedikit pesan bahwa cobalah saya berpuasa bicara dan disitu kita bisa lebih mengenal siapa jiwa kita. Ketika kita berhenti berbicara dan tidak membuat kebisingan dengan mulut, saya baru menyadari bahwa di dalam kepala saya sangat berisik. Suara-suara di dalam kepala seperti berlomba-lomba berkomentar dan itu ternyata sangat riuh sekali. Disitulah ternyata secara tidak sadar kita melakukan sebuah tindakan atas perintah dari suara didalam otak. Kadang kita tidak sadar kalau selama ini kita selalu menghakimi orang, atau menjelek-jelekan orang atau marah dengan orang. Bila pernah melihat film "Inside out" nah seperti itulah saya bisa mendengar suara dari empat sifat dasar manusia.

Tempat saya menghabiskan waktu selama Nyepi di Bali. Sebuah rumah tenang yang dijadikan penginapan.

Dengan Nyepi saya melatih untuk mengendalikan itu semua dan membuatnya kembali ke titik Nol, titik kosong. Titik dimana saya merasa menjadi bagian dari semesta ini. Lalu saya menghirup oksigen bersih dan mengeluarkan carbon dioksida secara perlahan. Selama Nyepi, tingkat polusi di Bali menurun drastis, Udara di seluruh pulau ini menjadi sangat bersih walaupun itu ditengah kota sekalipun. Ketika menghirup udara bersih ini saya juga menyadari kalau udara yang ada di Bumi ini tidak pernah kemana-mana. Udara yang saya hirup ini sama seperti  yang Siddhartha Gautama hirup, sama juga seperti yang Yesus hirup, Sama juga seperti yang Muhammad hirup, bahkan sama seperti yang Adam hirup. Perenungan di saat Nyepi ini seperti membuka pandangan saya terhadap suatu hal bahwa tidak ada yang berbeda dari kita semua. Kita sebagai manusia, bagian dari alam semesta yang tidak seharusnya merasa diri kita lebih unggul daripada manusia dan makhluk lain.

Malam yang penuh bintang ketika Nyepi


Malam ketika Nyepi sangat gelap. Tidak ada satupun lampu yang dibolehkan menyala. Gelap total. Tapi kegelapan ini yang membuat malam ini sangat terang karena jutaan bahkan miliaran bintang di langit sangat jelas terlihat. Pemandangan yang sangat spektakuler dan tidak mungkin kita lihat apabila kita sedang berada di tengah kota yang penuh dengan lampu. Hal yang paling sering saya lakukan ketika Nyepi adalah berbaring di rooftop atau taman di dalam hotel lalu melihat ke angkasa melihat sabuk Galaksi Bimasakti dan disitu saya merasa sangat kecil. saya melihat detail sekali angkasa yang luas di depan mata. Saya merasa Tuhan sedang hadir di dalam kekaguman saya terhadap karyanya.

sesajen

Keesokan harinya setelah jam 6 pagi ritual Nyepi selesai dan semua warga keluar rumah untuk melakukan Ngembak Geni, yaitu berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kemudahan dan kebaikan sehinggan bisa menjadi manusia yang baru untuk menjalani kehidupan kedepan. Sama seperti Hari Lebaran, seusai Ngembak Geni semua warga bersilaturahmi ke rumah sanak saudara dan saling maaf-meaafkan. Menurut saya tradisi asli silaturahmi dan saling maaf-memaafkan inilah yang pada akhirnya tetap digunakan oleh umat beragama di Nusantara ini ketika hari raya tiba.



Di berbagai desa di Bali hari Ngembak Geni ini dirayakan secara beragam, salah satunya di Desa Sesetan di Denpasar, sekelompok muda-mudi merayakannya dengan festival ciuman. Saya melihat ini bukan sebagai tindakan yang amoral, melainkan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan.

Ternyata Nyepi mengilhami dunia untuk membuat 'World Silent Day' setiap tanggal 21 Maret. Jadi, setiap tanggal 21 Maret warga dunia tak melakukan aktifitas keluar rumah serta mematikan lampu mereka selama 24 jam. Satu tahap yang sangat baik setelah Earth Hour.


"Tidak ada hari raya manapun yang memberikan kesempatan untuk menghormati alam semesta dan Tuhan yang besar ini selain Nyepi"


Bukan tanpa alasan mengapa saya berangkat ke Bali ketika Nyepi. Dalam pengalaman pendidikan religius saya dari kecil saya selalu diberi dogma tentang kebenaran dalam agama saya, oke itu tidak menjadi masalah bagi saya, tetapi saya selalu diberi dogma kalau ajaran agama selain agama yang saya anut itu salah, penyembah berhala, penyembah gunung, penyembah pohon, penyembah setan dan lain-lain. Waktu saya kecil saya sangat meyakini hal itu dan menganggap orang-orang yang berbeda keyakinan dengan saya sudah pasti salah. Setelah saya dewasa saya baru menyadari bahwa spiritualitas tidak segamblang itu pola berfikirnya. Ada rasa dalam diri ingin mendalami lagi tentang itu. Mendalami yang justru membuat saya terbawa untuk menggali lebih dalam lagi tentang hakikat manusia dan alam, oleh karena itu saya terbang menuju Bali untuk merasakan suasana masyarakat dan spiritualnya.

Mengikuti Upacara

Dari semua ritual keagamaan yang ada di seluruh dunia menurut saya Nyepi ini sangatlah istimewa, Bila di tempat lain hari raya selalu dirayakan dengan gegap gempita, di Bali Hari Raya Nyepi dirayakan dengan kesunyian dan penuh dengan perenungan. Saya pernah datang ke beberapa perayaan hari besar agama Hindu di India tetapi tidak ada yang seperti di Bali. Di India semuanya dirayakan dengan tarian, nyanyian dan festival yang ramai, kebalikannya dari Nyepi di Bali. Dalam perayaan agama saya sendiri yaitu pada bulan Ramadhan, kadang implementasinya tidak sampai pada umatnya. Seharusnya puasa 30 hari itu menjadi perenungan juga, tetapi pada akhirnya menjadi bulan yang penuh konsumtif, baju baru, kue, makanan dan lain-lain. ya itu tergantung umat yang melaksanakannya. Tapi yang perlu diberi apresiasi adalah ketika Nyepi kita menghemat miliaran uang untuk pasokan listrik dan energi BBM, memberikan udara bersih untuk alam dan lingkungan dan juga memberikan kesempatan merenung untuk kita sebagai manusia atas keagungan Tuhan. Tidak ada hari raya manapun yang memberikan kesempatan untuk menghormati alam semesta, manusia dan Tuhan yang besar ini selain Nyepi.

"Karena pada hakikatnya manusia terlahir ke dunia dalam kesunyian dan akan meninggalkan dunia ini pun dalam kesunyian kembali"



The Wisdom of Bali


Dari sinilah akhirya saya bertekad untuk berkeliling dunia dan mengenal lebih dalam lagi tentang eksistensi Tuhan lewat berbagai ragam budaya dan ritual yang dijalankan manusia di Bumi ini. Bersama dengan kawan di Embara Films, kami akan mendokumentasikan perjalanan spiritual ini  kedalam sebuah film berjudul "HOMA". 




Minggu, 13 Desember 2015

ROMA ETERNA : VISUAL TENTANG KOTA ABADI





“Banyak Jalan Menuju Roma”

Peribahasa ini sering sekali saya dengar dari Ayah saya sebagai penyemangat kalau ada banyak cara untuk  meraih harapan. Apalagi kalau saya merasa gagal dalam prestasi atau apapun itu. Lalu ada pula peribahasa lain yang berbunyi :

"Roma was not built in a day”

Ya, artinya Roma tidak dibangun hanya dalam satu hari yang artinya kesuksesan itu tidak dibangun secara instan, tetapi harus kekuatan perjuangan dan perjuangan.

Dari kecil saya selalu mendengar istilah “Roma” dipakai dalam peribahasa yang melambangkan kesuksesan dan harapan. Saya sendiri sangat menyukai sejarah dan arsitektur dan menurut saya Roma selalu muncul dalam hal itu. Dalam sejarah, kota ini selalu disebut sebagai pusat dari peradaban dunia. Banyak kejadian-kejadian penting yang selalu dikaitkan dengan Roma. Ya Roma adalah pusat dari Super Power pada masa itu. Wilayah kekuasaannya membentang dari Eropa Barat hingga ke Timur Tengah dan sangat disegani pada masanya.

Roma disebut juga sebagai Caput Mundi : Capital of the world . Kota yang menjadi pusat tujuan beberapa bangsa di dunia untuk berdagang dan berpolitik. Kota ini sangat gemilang dalam masanya, walaupun banyak juga skandal dan penghianatan mewarnai perjalanannya.

Dari segi arsitektur, Roma sering dijadikan contoh bagaimana sebuah estetika bangunan dan ruang dapat mempengaruhi masyarakatnya. Kota ini terkenal dengan Piazza atau ruang terbuka besar. Ada banyak banyak Piazza tersebar di seantero Roma dan dipakai sebagai Forum atau tempat orang berkumpul. Untuk Bangunan jangan ditanya lagi, banyak bangunan megah berarsitektur indah mewarnai kota ini. Era High Renaissance yang berkembang di Roma sangat banyak membentuk wajah kota ini dan tetap menjadi kota paling menawan di Bumi. Gelombang seni dan arsitekturnya bahkan mempengaruhi seluruh daratan Eropa dan Timur Tengah.

Segala sesuatu tentang Roma inilah akhirnya yang membuat saya harus menjelajah sejauh 6000 mil jauhnya dari rumah di Bandung untuk menapakan kaki langsung di tempat bersejarah ini.

Berjalan-jalan di Roma seperti memasuki lorong waktu dan memasuki berbagai Era kegemilangan kota ini. Saya bisa merasakan bagaimana Roman Forum yang megah pada zaman itu dan Colosseum yang ramai dengan para penonton untuk menyaksikan gladiator beraksi, walaupun sekarang berupa reruntuhan tapi imaji saya mampu memvisualkan semuanya. Lalu mengunjungi Pantheon, struktur kubah besar pertama dan tertua di dunia, sungguh sulit dipercaya orang-orang Roma zaman dahulu mampu menghitung struktur serumit ini. Di Vatican saya melihat pusat agama Katolik, tempat ini menjadi saksi penyebaran agama Kristen yang dahulu pernah ditolak oleh penguasa Roma hingga agama ini mampu menguasai keyakinan sebagian besar warganya dan menjadi pusat Tahta Suci hingga sekarang. Selain itu disini pula simbol dari era High Renaissance, yaitu masa dimana seni, filsafat dan sastra mengalami perkembangan yang cukup tinggi dan mampu menghasilkan karya yang menakjubkan, termasuk karya Michaelangelo danm Raphael yang tersohor.

Masih banyak lagi peninggalan kota Roma yang terus berkembang, salah satunya pada era Baroque yang menghasilkan banyak arsitektur, seni dan sastra.

Hal yang sangat menarik adalah ketika kunjungan saya ke Roma bertepatan dengan Natale di Roma, hari ulang taun kota Roma yang dirayakan oleh semua warganya. Semua orang berpawai dengan pakaian tradisional Romawi, bahkan ada yang menggunakan kostum Gladiator lengkap dengan pedangnya. Suasana Roma saat itu benar-benar membawa saya kembali ke dua ribu tahun yang lalu lengkap dengan masyarakat tradisionanya. Menuju sore hari group orchestra mulai melantunkan lagu-lagu era klasik dan semakin membuat suasana Roma menjadi syahdu.  Saya melihat banyak warga terhanyut dalam suasana dan banyak yang saling berpelukan bahkan berciuman baik tua dan muda. Tak heran kalau Roma disebut juga sebagai City of Love. Kota ini mampu memberikan suasana romantic ditengah warganya.


Dengan berbekal dua kamera digital saya dan teman saya Febian berpisah menelusuri lorong-lorong kota Roma masing-masing untuk merekam semua denyut kota ini selama beberapa hari. hasil dari rekaman footage ini kami rangkum menjadi sebuah karya video dengan judul ROMA ETERNA, (Roma the Eternal City). 

ROMA ETERNA adalah sebuah Video hasil dari traveling kami yang menggambarkan keabadian kota Roma yang dibagi kedalam 5 segmen. 


ROMA : The Holy See 


Buongiorno!

Sebagai pembuka dari video, kami menyambut dengan suasana pagi di depan Piazza St Peter dan menggambarkan Roma sebagai rumah dari Tahta Suci Vatican. Vatican sendiri adalah sebuah enclave atau wilayah yang berada di tengah-tengah kota Roma. Disini dalah tempat suci yang dihormati oleh umat Katolik di seluruh dunia dan tempat dimana Paus memimpin seluruh umatnya.

Vatican juga merupakan rumah bagi karya seni High Renaissance dimana banyak patung-patung dan lukisan berseni tinggi dibuat sebagai persembahan manusia kepada Tuhan dan ajarannya. banyak cerita-cerita dari Alkitab yang diterjemahkan menjadi karya seni. Agama Katolik yang sempat ditolak oleh kekaisaran Romawi kini menjadi perlambang dari pertumbuhan peradaban kota Roma. Dari sinilah abad pencerahan dimulai.



ROMA : The Dynamic City


Roma adalah salah satu kota di dunia yang terus tumbuh di satu tempat, artinya dari zaman Romawi kuno hingga Roma Italia modern semuanya tumbuh di tempat yang sama. Hal ini terlihat dari dinamis nya kota ini. Roma sebagai kota pusat peradaban banyak membuat semua orang menuju ke kota ini. Pada zamannya Roma merupakan kota metropolis yang sudah dihuni jutaan manusia, hal ini tentu sangat berpengaruh kapada tradisi dan budaya yang sangat beragam di kota ini mulai dari arsitektur hingga budaya masyarakatnya dan pembauran ini berlangsung sangat cepat. Di Roma kita masih bisa melihat peninggalan Kekaisaran Romawi, salah satunya Trajan Column, yaitu pilar raksasa yang dibangun kaisar Trajan yang berisi relieh kehidupan masyarakat Romawi pada zaman dahulu lengkap yang berkisah tentang perang Romawi - Dakia lengkap dengan penggambaran pasukan perang dan pemandagannya. Reruntuhan Kota Roma zaman dahulu pun masih bisa kita nikmati di area Forum Romano yang terletak di tengah kota.



ROMA : The City of Love


Orang Italia terutama orang Roma terkenal dengan sifat romantisnya, hal ini bisa terlihat di seluruh kota. Semua pasangan muda-mudinya terlihat memadu kasih di sudut-sudut kota. Tidak hanya anak muda, orang tua nya juga terlihat romantis. Kota ini membawa energi cinta kasih yang tinggi. Semua orang tidak canggung untuk memperlihatkan rasa kasih sayangnya. Hal ini tercermin juga dari karya seni yang dipersembahkan untuk Tuhan. Sebagai ungkapan rasa kasih dan cinta kepada Tuhan, Michaelangelo sampai melukis di langit-langit Sistine Chapel untuk melukiskan kisah-kisah dari Alkitab, termasuk proses penciptaan manusia lewat lukisan the creation of Adam. Masih banyak karya seni lain yang dibuatkan berdasarkan rasa cinta orang-orang Roma. Memang bila didasari rasa kasih dan cinta semuanya akan menjadi indah.



ROMA : The Roman Empire Era


Natale di Roma adalah hari ulang tahun kota Roma yang berumur sudah lebih dari 2700 tahun. Mungkin ini adalah Kota besar yang berumur paling tua di dunia. Pada hari itu semua masyarakat Roma berkumpul dengan mengenakan kostum di Era Romawi. Suasana menjadi lebih semarak karena khusus untuk hari ini Roma seperti dikembalikan ke masa kejayaannya di masa lalu. Ada pula pawai Gladiator lengkap dengan pedang dan adegan berkelahi nya. di Sudut Circus Maximus diadakan upacara persembahan kepada Dewa Jupiter, kepercayaan Roma di masa lalu. Roma memang kota yang tak lekang dimakan zaman. Walaupun dunia sudah modern, tetapi kota ini dan masyarakatnya masih menghargai masa lalu dan semua tradisinya.


ROMA : The Night of Eternal 


Matahari berangsur-angsur menghilang dari langit dan digantikan oleh bintang dan bulan sabit sebagai pemandu langit di Roma. Walaupun hari semakin gelap tapi pesona Roma tetap tidak pernah padam. Kota ini telah bertahan selama ribuan tahun dan menjadi saksi dari peradaban manusia di bumi ini. Roma telah melewati banyak sekali malam dan akan siap menyambut semua warganya kembali di pagi hari sampai seterusnya dan akan membawa kerinduan bagi siapapun yang pernah mengunjunginya. Inilah esensi dari keabadiannya, Roma kota Abadi.


“Rome is the city of echoes, the city of illusions, and the city of yearning.” Giotto di Bondone (Italian painter and architect. Died 1337)

Selamat menikmati kota Roma lewat visual yang kami berikan dan sesungguhnya Roma yang paling indah adalah ketika dinikmati langsung dengan mata dan pengalaman sendiri.

Roma, 21 April 2015




Jangan lupa subscribe channel Youtube kami di Embara Films : www.youtube.com/user/embarafilms untuk lihat video lainnya.



















Minggu, 06 Desember 2015

SWAYAMBHUNATH : ANTARA LEMBAH KATHMANDU DAN DANAU BANDUNG PURBA


Bau tanah basah masih menyeruak, jalan-jalan utama Kathmandu yang awalnya berdebu kini berubah menjadi basah dan becek penuh lumpur. Kondisi jalan yang buruk sehabis hujan ditambah kemacetan dan suara bising klakson menambah kesemmrawutan lalu lintas, tapi bukan Kathmandu namanya kalau tidak begini. Saya dan teman-teman sangat menikmati ke-chaos-an kota ini. Bagi kami inilah salah satu atraksi utama dari kota ini "Kekacauan Kathmandu".

Krisis negri ini akibat blokade dan embargo dari India sangat mempengaruhi kami dalam traveling, terutama dalam mencari kendaraan sewa. Banyak rental mobil yang tidak beroperasi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar. Beruntung kami diberitahukan Amir, pedagang kain di Boudhanath untuk mengontak travel agent kenalannya dan kami diberikan sewaan mobil berupa angkot. Ya angkot Kathmandu yang rela kami sewa dengan harga selangit karena harus membeli bahan bakar dari pasar gelap.

Suasana Jalanan di Kathmandu, Hot Lips with Dance Club
Macet di Kathmandu
Angkot yang kami sewa melaju perlahan menembus kemacetan kota menuju ke atas bukit. Tujuan saya selanjutnya adalah Swayambhunath atau Kuil Swayambhu yang ada diatas bukit, kuil ini merupakan tempat religius tertua di lembah Kathmandu, bahkan di seluruh Nepal.

Akhirnya kami sampai di pelataran parkir di bawah bukit Swayambhu. Karena hari sudah sore saya bergegas masuk melalui gerbang dan membeli tiket sebelum tempat ini tutup. Di dalam kompleks suasana berubah menjadi lebih spiritual karena banyak sekali simbol-simbol agama Buddha. Saya melihat banyak sekali untaian bendera doa yang diikatkan diatas pohon yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan.  Di bawahnya ada kolam perdamaian yang ditengahnya terdapat patung Buddha berdiri diatas bunga teratai dengan mengeluarkan air dari tangannya. Masyarakat percaya apabila melempar koin ke dalam kolam, semua doa dan permintaannya akan terkabul. Disamping kolam terdapat stupa putih dengan mata Buddha diatasnya. Tapi stupa ini masih versi kecilnya dari stupa utama Swayambhu yang ada diatas bukit.

Stupa dan bendera doa
Dari pelataran kolam perdamaian saya menaiki anak tangga yang lumayan banyak ke puncak bukit, lumayan juga membuat nafas menjadi lebih cepat dan menaikan ritme detak jantung yang membuat badan mengelurkan panas di tengah udara dingin Kathmandu.  Sebetulnya tangga timur lebih curam dan jadi favorit warga untuk pendakian ke bukit ini. Karena saya naik dengan mobil jadi tangga barat daya jauh lebih pendek, walaupun tetap curam dan capek juga. 

Tangga Timur dari bawah menuju ke stupa utama Swayambhunath

Dari ketinggian bisa lihat lembah Kathmandu
Sampai diatas saya melihat Stupa putih besar dengan sepasang mata tajam dan dikelilingi beberapa stupa kecil dan kuil-kuil lainnya. Stupa Swayambhu menyambut saya seolah-olah berkata "Halo, akhirnya ketemu juga kita setelah sekian lama kamu melihat saya hanya dari internet dan majalah". Saya sangat senang karena Stupa ini selamat dari gempa besar Nepal, tidak seperti saudaranya di Boudhanath yang harus mengalami renovasi besar-besaran.

Stupa utama Swayambhunath dan stupa-stupa kecil di sekelilingnya

saya memandangi sepasang mata tajam itu dari keempat sisi. Mata kebijaksanaan sang Buddha yang selalu melihat kesagala penjuru dan menjadi icon Nepal sampai saat ini, menyimbolkan panca Buddha dalam Tantrayana. Di tengah diantara kedua matanya ada sebuah titik yang menyimbolkan mata ketiga, mata spiritual dari Buddha. Dibawahnya terdapat sebuah simbol spiral yang mempunyai arti dalam aksara Devanagari yaitu angka "1" yang menyimbolkan penyatuan segala sesuatunya untuk mendapatkan pencerahan. Diatas dari semuanya terdapat tumpukan 13 mahkota yang melambangkan 13 tahapan dalam spiritual.

Mata Buddha

Sama seperti di Boudhanath, di padestal Swayambhunath juga dipenuhi roda-roda doa untuk melakukan aktifitas Kora, atau berdoa sambil berjalan mengelilingi Stupa. Selain untuk agama Buddha Tibetan dan Buddha Newari,  tempat ini juga disucikan juga oleh umat Hindu Nepal. Raja Pratap Malla membangun kuil Hindu bergaya Shikhar di sebelah Stupa Swayambhu dan membangun tangga di sebelah timur pada abad ke 17. Oleh umat Hindu tempat ini dikenal juga sebagau Hararti Devi Temple. 

Setelah memandangi "Wajah Swayambhunath" saya berjalan menelusuri sekitar kompleks ditemani ratusan kera yang ada disini. Tempat ini sering dijuluki sebagai "Monkey Temple" karena banyaknya kera yang hidup di bukit ini dan hidup berdampingan dengan para peziarah.

Kera Swayambhunath

Dari view point di sebelah stupa saya melihat pemandangan yang luas dari lembah Kathmandu, sebuah pemandangan yang membuat saya tiba-tiba teringat dengan kota kelahiran saya yaitu Bandung, kota lembah yang penuh dengan cerita dan legenda. Bandung dahulunya merupakan sebuah danau purba yang diyakini keberadaanya sejak ratusan ribu tahun yang lalu dan diyakini sebagai latar dari legenda Sangkuriang yang disuruh membuat perahu oleh Dayang Sumbi untuk mengelilingi danau. Surutnya Danau Bandung Purba diyakini karena kebocoran di salah satu bukitnya dan juga dengan proses pengendapan selama ratusan ribu tahun.

Pemandangan seluruh lembah Kathmandu
Lembah Katkhmandu pun memiliki cerita yang kurang lebih sama dengan Bandung yaitu seputar legenda danau purba nya. Diceritakan bahwa dahulu seluruh lembah Kathmandu adalah danau besar yang sangat luas, ditengah danau tersebut tumbuh sebuah bunga teratai. Manjushri seorang Boddhisattva berupaya agar bisa membuat akses menuju bunga teratai itu. Dengan kesaktian spiritualnya dia memotong ngarai di Chovar dan kemudian air danau surut dengan perlahan. Setelah surut ternyata tempat berdirinya bunga teratai tersebut merupakan sebuah bukit dan akhirnya bukit tersebut disakralkan oleh masyarakat dan dibuatkanlah Kuil Swayambhunath hingga sekarang masih berdiri kokoh dan dapat terlihat dari seluruh penjuru Lembah Kathmandu.
Pemandangan 3 kota di lembah Kathmandu dari atas Swayambhunath
Lembah Kathmandu sekarang sudah bertransformasi menjadi kota padat tempat bermukimnya jutaan manusia. Kota Kathmandu, Kota Bhaktapur dan Kota Lalitpur adalah tiga kota yang mengisi lembah ini dengan jutaan bangunan. Kini yang terlihat dari puncak Swayambhu bukan lagi air danau, melainkan lautan bangunan yang mengisi seluruh permukaannya. Sama seperti kota Bandung yang semakin "heurin ku tangtung" kota yang menjadi danau manusia.     

Matahari terbenam di Swayambhunath

Perjalanan saya ke Kathmandu yang ribuan mil jauhnya dari rumah malah memberi ingatan kembali kepada Bandung, kota kelahiran sekaligus kota yang membesarkan saya seperti sekarang ini. Tak pernah saya sangka kalau saya akan berjalan sejauh ini sampai di negeri ini untuk melihat atap dunia. Mahameru yang sebenarnya. 


Swayambhunath, 15 Oktober 2015.




Kamis, 03 Desember 2015

KATHMANDU : SUBHA PRABHAT BOUDHANATH




Pelan-pelan angin dingin menyentuh kulit saya yang masih tidur di kasur, saya kemudian menarik selimut dan berniat kembali tidur. Tak beberapa lama suara lonceng terdengar beberapa kali dan suara derap langkah kaki ratusan orang terdengar dan membuat saya terbangun. Dengan setengah sadar saya membuka mata dan melihat jam yang menunjukan jam 6 pagi. Saya langsung beranjak dari tempat tidur lalu pergi ke arah jendela kamar yang sudah terbuka dengan senangnya dan saya langsung berucap :

"SUBHA PRABHAT BOUDHANATH"

( Selamat Pagi Boudhanath)

Stupa Boudhanath sebelum gempa (sumber Thousandwonders.net)


Pagi ini adalah pagi pertama saya di Nepal. Setelah malam sebelumnya mengalami keribetan dengan mencari angkutan mobil dari Bandara Tribhuvan dan susahnya berkomunikasi dengan supir untuk menemukan hotel ini. Hotel tempat saya tinggal selama di Kathmandu adalah "Happiness Guest House" yang lokasinya tebat di depan Boudhanath Stupa. Saya memilih hotel ini agar bisa merasakan suasana spiritual umat Buddha Tibetan yang sedang beribadah Kora (Tawaf) mengelilingi salah satu stupa terbesar di dunia ini.

Kamar di Happiness Guest House, langsung menghadap Stupa

Pemandangan dari kamar, langsung menghadap Stupa

Pemandangan dari kamar, melihat orang tawaf

Saya bergegas mengambil jaket, keluar kamar dan langsung turun ke bawah dan bertemu dengan ratusan orang yang sedang tawaf pagi. Teman-teman saya yang lain sepertinya sudah menyebar mengambil foto dan video di sekitar Boudhanath.



Roda doa, Jemaat berputar mengelilingi stupa sambil memutar roda doa yang ada di dalam jeruji.

Suasana syahdu sangat terasa, walaupun disini banyak orang tapi sangat tidak berisik. Semua orang mengucapkan mantra "Om Mani Padme Hum" sambil berputar dan menyentuh roda roda besi yang terukir mantra-mantra di permukaanya.

Seperti alam semesta yang semuanya berputar, disini saya melihat ribuan burung merpati terbang memutari Stupa juga. Pagi ini merupakan pagi yang paling ajaib selama hidup saya. Saya juga mencium aroma dupa dan asap lilin minyak yang dipakai sebagai persembahan dan doa untuk Tuhan.

Burung merpati di sekitar Boudhanath

Asap Dupa di depan Boudhanath.

Walaupun saya bukan umat Buddha, tapi saya ikut memutari Stupa sambil memutari roda-roda besi yang ada di sekeliling Stupa. Saya kagum melihat semua yang sedang beribadah disini. Tak jarang saya melihat beberapa orang yang berputar sambil tengkurap dan berjuang mengelilingi Stupa beberapa kali. Saya juga melihat ada orang Amerika berpakaian kain merah yang sepertinya sudah berpindah keyakinan ke agama Buddha dan sedang berziarah ke Kathmandhu ikut mengelilingi Stupa ini sambil diantar oleh ibunya yang masih memakai baju biasa, Ohh, pemandangan yang damai. Semua berputar atas nama Tuhan dan Semesta.

Mengelilingi Boudhanath sambil tengkurap

Biksu di Boudhanath

Biksu yang sedang berdoa dan membacakan mantra di depan Boudhanath malam hari.

Penjual lilin

Pada malam hari beberapa Biksu banyak yang membacakan mantra di depan stupa ini sambil membunyikan lonceng dan gendang khas Tibet. Suasana semakin syahdu karena di beberapa sudut banyak penjual lilin minyak yang menyalakan ratusan lilinnya dan membuat malam di Boudhanath menjadi semakin sakral.

Tidak semua didominasi umat Buddha, di kawasan ini saya juga bertemu pedagang kain muslim asal New Delhi India yang baik, namanya Amir. Dia banyak membantu saya untuk menunjukan tempat makan, tempat penukaran uang maupun tempat sewa mobil yang murah.

Foto-Foto sejarah Boudhanath 

Stupa Boudhanath merupakan situs cagar budaya yang semenjak tahun 1979 telah masuk ke daftar World Unesco Heritage Site. Jauh sebelumnya situs ini berdiri di jalur perdagangan antara Nepal dan Tibet dan jadi tempat transit pedagang Buddha dari tibet. Tahun 1950an terjadi pengungsian besar-besaran warga Tibet yang lari di negrinya karena penguasaan dari Tentara Pembebasan Rakyat RRC di Tibet dan mendirikan kawasan pemukiman di sekitar Boudhanath, Kathmandu. Sekarang kawasan ini menjadi salah satu kawasan paling rapih dan bersih di Kathmandu. Di sekitar Boudhanath dibangun 50 Monastery atau biara yang menunjang segala aktifitas dan pendidikan umat Buddha Tibetan atau yang ingin mendalami ajaran Buddha.

Gerbang menuju kawasan Boudhanath. 


Kondisi Stupa Boudhanath setelah gempa, sedang direnovasi besar-besaran.
Stupa Boudhanath mengalami kerusakan cukup serius akibat gempa besar di Nepal bulan April 2015 lalu dan  mengakibatkan renovasi besar-besaran. Walaupun kondisinya seperti ini tetapi tidak mengurangi sedikitpun kesakralan tempat ini. Boudhanath masih memberi energi yang luar biasa bagi peziarah dan pencari ketenangan spiritual.

"Om Mani Padme Hum"


Kathmandu, 14 Oktober 2015














Selasa, 01 Desember 2015

SWAGATAM KATHMANDU




Rasa kantuk di dalam kursi pesawat tiba-tiba hilang ketika pilot mengumunkan bahwa pesawat akan mendarat di bandar udara internasional Tribhuvan. Saya bergegas melihat keluar jendela pesawat untuk melihat dataran tinggi ini. Jantung berdebar-debar saat pesawat mulai turun. Ya ini pertama kalinya saya menginjakan kaki di negri ini, negeri dimana Sidharta Gautama lahir, negri yang menjadi gerbang menuju puncak dunia, Himalaya.

Ucapan selamat datang di Bandara Tribhuvan, Kathmandu


"Welcome to the birth place of Lord Buddha"

Tulisan diatas menyapa semua penumpang yang turun dari pesawat. Saya masih belum percaya kalau saya sudah sampai disini, apalagi ini negara dimana Buddha lahir dan melakukan perjalanan spiritualnya.

"Swagatam", Selamat datang di Kathmandu kota yang menjadi persinggahan pertama saya di Nepal. Ibu Kota dari beberaga generasi kerajaan Nepal hingga sekarang setelah menjadi Negara Republik. Disini saya akan meringkas beberapa hal tentang Kathmandu.

DEBU

Jalanan Kathmandu yang penuh debu pasir dan asap kendaraan

Kathmandu adalah kota yang sangat berdebu pasir. Perubahan udara sangat terasa ketika keluar dari bandara, tiba-tiba tenggorokan sakit. Paling tersiksa ketika siang, suasana kota sangat berdebu, terik dan membuat mata perih. Di kota ini wajib memakai masker dimanapun.

KABEL LISTRIK

Jaringan kabel listrik yang rumit

Jaringan kabel listrik yang lebih rumit

Awalnya saya fikir kabel listrik paling berantakan cuma ada di kota-kota di Indonesia, ternyata saya salah. Kabel listrik di Kathmandu ajaib berantakannya. Ketinggian kabelnya pun ada yang sampai mengenai kepala. Satu tiang listrik bisa menopang puluhan bahkan ratusan untain kabel yang sangat tidak beraturan.

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR LAMBAT

Jalan raya

Untuk seukuran kota besar, pertumbuhan pembangunan di Kathmandu sangat lambat, terutama dari segi infrastruktur. Banyak jalan raya dan highway yang belum rampung dan juga kondisi jalan yang buruk dengan saluran air yang buruk juga. Apabila hujan besar genangan air bisa saja menerjang dari atas bukit.

KRISIS EKONOMI

Antrian kendaraan di depan pom bensin, kendaraan ini sudah 3 hari diparkir dan antrian masih belum bergerak


Semenjak banyak ketegangan politik di Nepal pertengahan tahun 2015, India menutup seluruh pintu perbatasannya dan mengakibatkan terhentinya jalur logistik kedalam negara ini, termasuk bahan bakar minyak. Antrian kendaraan di depan pom bensin tak bisa dihindarkan, harga-harga melonjak naik dan listrik diberi jatah pada setiap rumah. Dengan pendapatan perkapita yang rendah dan ditambah dengan krisis mengakibatkan masyarakat di lembah Kathmandu banyak yang hidup sengsara.

BANGUNAN BATA

Kathmandu dari atas bukit

Jalan sempit di kawasan Thamel, Kathmandu
Entah mengapa kebanyakan bangunan di Lembah Kathmandu, bahkan di seantero Nepal seperti tidak diselesaikan dan selalu menyisakan tembok bata. Apa mungkin karena bahan finishing seperti cat tembok harganya mahal. Pemandangan ini membuat kota Kathmandu terlihat sangat merah disiang hari dan menyerupai kota yang kumuh. Rata-rata rumah di Nepal memiliki jumlah diatas 5 lantai dan ini mengakibatkan jalan atau gang di bawahnya menjadi gelap. Tetapi kekumuhan Kathmandu mempunyai keindahan tersendiri, kalau kata teman saya "kumuh yang fotogenik".

ARSITEKTUR

Temple di Kathmandu Durbar Square

Temple di Patan Durbar Square

Di Kota ini saya merasa waktu tidak berjalan sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Hal ini sangat terasa dari suasana kota nya, sangat tua, sangat antik dan semuanya dikemas dengan romantisme yang baik. Walaupun kota ini baru saja diguncang gempa besar, tetapi Kathmandu cepat bangkit dan kembali memperlihatkan keanggunannya dari segi arsitektur. Bangunan-bangunan khas Newari dan Tibet terlihat megah menjulang. Beberapa bangunannya mengingatkan saya dengan Meru di Bali. Ya Kota ini menyimpan energi yang dahsyat dan tak lekang dimakan oleh waktu

PADAT PENDUDUK

Suasana di sekitar Kathmandu Durbar Square

Kota Kathmandu memiliki jumlah penduduk 3,2 juta jiwa, dan jumlah ini hanya di Kota Kathmandu saja. Bayangkan apabila dijumlah semua penduduk di Lembah Kathmandu yang terdiri dari Kota Kathmandu, Lalitpur dan Bhaktapur. Kepadatan akan terasa pada saat pagi ketika semua orang mulai beraktifitas di tempat bisnis.


RAMAH

anak-anak di Lalitpur, Patan.

Sebetulnya dia Naya teman saya, tapi karena mukanya kaya orang Nepal, anggap aja foto senyuman warga lokal ya :) 

Penduduk Kathmandu sangat ramah, hampir disetiap sudut jalan mereka selalu membalas senyuman. Berjalan-jalan dipasar saya merasa seperti orang lokal yang kadang selalu diajak berbicara bahasa lokal. Rata-rata hotel di kota ini adalah industri rumahan yang dikelola oleh keluarga, jadi menginap di hotel serasa menginap di homestay karena kita akan dilayani oleh keramahan keluarga.

MAKANAN

Momo

Vegetarian Nepali Thali

Awalnya saya pikir makanan di Kathmandu akan didominasi oleh Kari India, ternyata saya salah besar. Banyaknya budaya di kota ini sekaligus membawa kuliner yang beragam dan enak. Yang paling saya suka adalah Momo, sejenis dumpling khas Tibet yang dikukus sampai matang. Rasanya hampir mirip dengan Gyoza di Jepang tapi dengan bumbu yang sedikit berbeda. Makanan ini sangat cocok apabila udara dingin tiba-tiba menerpa di malam hari. Kathmandu adalah surga bagi penggemar makanan vegetarian.


SPIRITUAL

Salah satu temple kecil di sudut Thamel, Kathmandu

Stupa besar di salah satu sudut di Thamel, Kathmandu

Di Kathmandu banyak sekali temple dan monastery yang tersebar di seantero kota. Setiap sudut jalan pasti ada tempat pemujaan baik itu agama Hindu maupun Buddha. mantra-mantra indah selalu dikumandangkan setiap hari. Tempat ini sangat ajaib, dengan segala aliran kepercayaannya semua penduduknya bisa hidup rukun dan damai. Wangi-wangian dari persembahan pun menyeruak dan memberikan aroma yang enak. Selain itu kita bisa menemukan bendera doa dimana-mana, untaian kain yang dicetak dengan doa dan digantung agar angin bisa menyebarkan energi positifnya ke seantero negri.



Saya dan Stupa Swayambhunath

Diluar deri segala keberantakannya, Kathmandu memberikan kesan yang sangat baik bagi sejarah hidup saya terutama dari segi spiritual. Disini saya melihat bagaimana masyarakat berjuang hidup dari kemiskinan tanpa meninggalkan hakikatnya sebagai manusia dihadapan Tuhan. Hidup berdampingan diantara perbedaan keyakinan dan tetap ramah kepada semua pendatang. Aura positif di kota ini mungkin bisa saya sejajarkan dengan di Bali dan saya banyak dipertemukan dengan orang baik disini. Semoga kelak anak cucu saya bisa mengunjungi Kathmandu suatu saat nanti.


Kathmandu, Nepal
14 Oktober 2015