Bau tanah basah masih menyeruak, jalan-jalan utama Kathmandu yang awalnya berdebu kini berubah menjadi basah dan becek penuh lumpur. Kondisi jalan yang buruk sehabis hujan ditambah kemacetan dan suara bising klakson menambah kesemmrawutan lalu lintas, tapi bukan Kathmandu namanya kalau tidak begini. Saya dan teman-teman sangat menikmati ke-chaos-an kota ini. Bagi kami inilah salah satu atraksi utama dari kota ini "Kekacauan Kathmandu".
Krisis negri ini akibat blokade dan embargo dari India sangat mempengaruhi kami dalam traveling, terutama dalam mencari kendaraan sewa. Banyak rental mobil yang tidak beroperasi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar. Beruntung kami diberitahukan Amir, pedagang kain di Boudhanath untuk mengontak travel agent kenalannya dan kami diberikan sewaan mobil berupa angkot. Ya angkot Kathmandu yang rela kami sewa dengan harga selangit karena harus membeli bahan bakar dari pasar gelap.
Angkot yang kami sewa melaju perlahan menembus kemacetan kota menuju ke atas bukit. Tujuan saya selanjutnya adalah Swayambhunath atau Kuil Swayambhu yang ada diatas bukit, kuil ini merupakan tempat religius tertua di lembah Kathmandu, bahkan di seluruh Nepal.
Akhirnya kami sampai di pelataran parkir di bawah bukit Swayambhu. Karena hari sudah sore saya bergegas masuk melalui gerbang dan membeli tiket sebelum tempat ini tutup. Di dalam kompleks suasana berubah menjadi lebih spiritual karena banyak sekali simbol-simbol agama Buddha. Saya melihat banyak sekali untaian bendera doa yang diikatkan diatas pohon yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan. Di bawahnya ada kolam perdamaian yang ditengahnya terdapat patung Buddha berdiri diatas bunga teratai dengan mengeluarkan air dari tangannya. Masyarakat percaya apabila melempar koin ke dalam kolam, semua doa dan permintaannya akan terkabul. Disamping kolam terdapat stupa putih dengan mata Buddha diatasnya. Tapi stupa ini masih versi kecilnya dari stupa utama Swayambhu yang ada diatas bukit.
Dari pelataran kolam perdamaian saya menaiki anak tangga yang lumayan banyak ke puncak bukit, lumayan juga membuat nafas menjadi lebih cepat dan menaikan ritme detak jantung yang membuat badan mengelurkan panas di tengah udara dingin Kathmandu. Sebetulnya tangga timur lebih curam dan jadi favorit warga untuk pendakian ke bukit ini. Karena saya naik dengan mobil jadi tangga barat daya jauh lebih pendek, walaupun tetap curam dan capek juga.
Tangga Timur dari bawah menuju ke stupa utama Swayambhunath |
Dari ketinggian bisa lihat lembah Kathmandu |
Sampai diatas saya melihat Stupa putih besar dengan sepasang mata tajam dan dikelilingi beberapa stupa kecil dan kuil-kuil lainnya. Stupa Swayambhu menyambut saya seolah-olah berkata "Halo, akhirnya ketemu juga kita setelah sekian lama kamu melihat saya hanya dari internet dan majalah". Saya sangat senang karena Stupa ini selamat dari gempa besar Nepal, tidak seperti saudaranya di Boudhanath yang harus mengalami renovasi besar-besaran.
Stupa utama Swayambhunath dan stupa-stupa kecil di sekelilingnya |
saya memandangi sepasang mata tajam itu dari keempat sisi. Mata kebijaksanaan sang Buddha yang selalu melihat kesagala penjuru dan menjadi icon Nepal sampai saat ini, menyimbolkan panca Buddha dalam Tantrayana. Di tengah diantara kedua matanya ada sebuah titik yang menyimbolkan mata ketiga, mata spiritual dari Buddha. Dibawahnya terdapat sebuah simbol spiral yang mempunyai arti dalam aksara Devanagari yaitu angka "1" yang menyimbolkan penyatuan segala sesuatunya untuk mendapatkan pencerahan. Diatas dari semuanya terdapat tumpukan 13 mahkota yang melambangkan 13 tahapan dalam spiritual.
Sama seperti di Boudhanath, di padestal Swayambhunath juga dipenuhi roda-roda doa untuk melakukan aktifitas Kora, atau berdoa sambil berjalan mengelilingi Stupa. Selain untuk agama Buddha Tibetan dan Buddha Newari, tempat ini juga disucikan juga oleh umat Hindu Nepal. Raja Pratap Malla membangun kuil Hindu bergaya Shikhar di sebelah Stupa Swayambhu dan membangun tangga di sebelah timur pada abad ke 17. Oleh umat Hindu tempat ini dikenal juga sebagau Hararti Devi Temple.
Setelah memandangi "Wajah Swayambhunath" saya berjalan menelusuri sekitar kompleks ditemani ratusan kera yang ada disini. Tempat ini sering dijuluki sebagai "Monkey Temple" karena banyaknya kera yang hidup di bukit ini dan hidup berdampingan dengan para peziarah.
Kera Swayambhunath |
Dari view point di sebelah stupa saya melihat pemandangan yang luas dari lembah Kathmandu, sebuah pemandangan yang membuat saya tiba-tiba teringat dengan kota kelahiran saya yaitu Bandung, kota lembah yang penuh dengan cerita dan legenda. Bandung dahulunya merupakan sebuah danau purba yang diyakini keberadaanya sejak ratusan ribu tahun yang lalu dan diyakini sebagai latar dari legenda Sangkuriang yang disuruh membuat perahu oleh Dayang Sumbi untuk mengelilingi danau. Surutnya Danau Bandung Purba diyakini karena kebocoran di salah satu bukitnya dan juga dengan proses pengendapan selama ratusan ribu tahun.
Lembah Katkhmandu pun memiliki cerita yang kurang lebih sama dengan Bandung yaitu seputar legenda danau purba nya. Diceritakan bahwa dahulu seluruh lembah Kathmandu adalah danau besar yang sangat luas, ditengah danau tersebut tumbuh sebuah bunga teratai. Manjushri seorang Boddhisattva berupaya agar bisa membuat akses menuju bunga teratai itu. Dengan kesaktian spiritualnya dia memotong ngarai di Chovar dan kemudian air danau surut dengan perlahan. Setelah surut ternyata tempat berdirinya bunga teratai tersebut merupakan sebuah bukit dan akhirnya bukit tersebut disakralkan oleh masyarakat dan dibuatkanlah Kuil Swayambhunath hingga sekarang masih berdiri kokoh dan dapat terlihat dari seluruh penjuru Lembah Kathmandu.
Lembah Kathmandu sekarang sudah bertransformasi menjadi kota padat tempat bermukimnya jutaan manusia. Kota Kathmandu, Kota Bhaktapur dan Kota Lalitpur adalah tiga kota yang mengisi lembah ini dengan jutaan bangunan. Kini yang terlihat dari puncak Swayambhu bukan lagi air danau, melainkan lautan bangunan yang mengisi seluruh permukaannya. Sama seperti kota Bandung yang semakin "heurin ku tangtung" kota yang menjadi danau manusia.
Perjalanan saya ke Kathmandu yang ribuan mil jauhnya dari rumah malah memberi ingatan kembali kepada Bandung, kota kelahiran sekaligus kota yang membesarkan saya seperti sekarang ini. Tak pernah saya sangka kalau saya akan berjalan sejauh ini sampai di negeri ini untuk melihat atap dunia. Mahameru yang sebenarnya.
Swayambhunath, 15 Oktober 2015.
Wah udah sampe nepal, kapan ane bisa kesana
BalasHapusSaya doain Edo dan kawan-kawan suatu saat bisa berpetualang di Nepal juga :)
Hapusjadi pengen ke Nepal ane gan
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusEh mirip Bandung ya ternyata, Lih. Gak nyangka sepadet itu Nepal. Gak pada merantau apa gimana itu orang-orangnya?
BalasHapusItu ngelihat sunset di sini aja sensasinya udah luar biasa, apalagi lihat sunset di Nepal. Waah kerja keras kamu kebayar pisan lah nya :D hehehe
Iya Ulu, Kathmandu padet banget. segini orang-orangnya banyak yang merantau ke India dan ke Malaysia. Tapi tetep aja banyak :). Seru disini, semuanya kaya balik lagi ke tahun 1980am mungkin ya. serba jadul suasananya, tapi terkenang banget :)
HapusGaliiih.. tulisan2 lo tuh bagus2 banget gaya bertuturnya.. hayo lah jadiin buku 5 sekawan tea.. sebelum gw cabut.. hehehe...
BalasHapustempatnya sangat bagus sekali
BalasHapuskatalog alfamart 1-15 mei 2017