Jumat, 11 Maret 2016

MENYEPI : UNTUK SEMESTA ALAM




Sudah beberapa tahun ini saya selalu merayakan Nyepi di Bali, walaupun secara indentitas KTP saya bukan penganut Hindu, tetapi hari raya Nyepi menurut saya mempunyai makna yang sangat bagus.

Berawal dari beberapa tahun lalu saya impulsif berangkat ke Bali beberapa hari sebelum Nyepi demi untuk merasakan suasana sakralnya. Kebalikan dari kebanyakan orang yang justru ketika menjelang Nyepi banyak turis dari Bali yang pulang ke tempat asalnya karena ketika Nyepi kita tidak boleh melakukan aktivitas seperti biasa.


Bali

Dari semua daerah yang sudah saya kunjungi di seluruh Indonesia hanya Bali yang memberi kesan, terutama dari keaslian budaya dan kepercayannya. Ada suatu energi yang terpancar dari tempat ini. Keramahannya sudah tentu yang membuat istimewa, tetapi lebih dari itu masyarakat Bali merupakan representatif dari budaya Nusantara jauh sebelum budaya dari barat masuk dan mewarnai Indonesia ini. Tata cara kelola dalam kemasyarakatan, kebersihan, keagamaan dan kekeluargaan pun boleh saya bilang yang terbaik di negri ini. Bali tidak pernah menutup diri terhadap globalisasi dan kebaharuan, tetapi justru di sini tradisi lokal tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Banyak orang dari seluruh dunia datang ke Bali untuk mempelajari dan memahami kehidupan seimbang di pulau ini, termasuk saya. Kedatangan saya ke Bali adalah untuk memahami pandangan spiritual masyarakatnya terhadap semesta.

Menghadap laut Bali dari atas bukit 


Upacara Nyepi

Nyepi adalah kesunyian yang dilakukan untuk menyambut Tahun Baru Saka pada penanggalan umat Hindu di Bali sebagai bentuk penyucian diri dari segala sifat buruk yang ada di dalam diri manusia. Walaupun penanggalan Saka berasal dari India, tetapi perayaan tahun baru dengan Nyepi hanya dilakukan di Bali. Agama Hindu Bali adalah Hindu Dharma atau Agama Tirtha. Agama Hindu Bali merupakan penggabungan kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan asli suku Bali. Ini yang membuat Hindu di Bali sangat khas karena kepercayaan asli masih dijalankan.

Sebelum Nyepi, masyarakat Bali melakukan beberapa ritual yaitu Melasti, Pecaruan dan Pengrupukan.

Melasti adalah upacara penyucian pusaka dan sarana persembahyangan di Pura yang diarak menuju danau atau laut sebagai simbol penyucian oleh Tirta Amerta, atau air suci. Dalam ritualnya semua umat dari masing-masing banjar dan berbaris rapih dengan pakaian tradisional yang kental dan membawa persembahan. Saya sendiri beberapa kali ikut dalam prosesi Melasti ini karena suasananya begitu khidmat. Dari rombongan umat selain membawa persembahan ada juga yang membawa gamelan sehingga suasana menjadi hidup dengan gamelan Bali. Para pemangku berkeliling dan memercikan air suci kepada seluruh warga yang datang serta perangkat-perangkat peribadatan dan menebarkan asap dupa sebagai wujud mensucian.Upacara melasti ini biasanya dilaksanakan tiga hari sebelum Nyepi. Yang menarik bagi saya adalah ketika Upacara Melasti di pantai yang menghadap matahari terbit atau terbenam karena disaat itulah keindahan alam dan nuansa spiritual menjadi sebuah perpaduan yang agung.

Upacara Melasti di Pantai Kuta

Upacara Melasti di Pantai Kuta

Pecaruan adalah ritual yang dijalankan sehari sebelum Nyepi yaitu hari Pengrupukan. Ritual ini dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam dengan merawat lima unsurnya yaitu tanah, air, udara, api dan ether. Setiap keluarga biasanya menyiapkan caru atau persembahan yang terdiri dari nasi lima warna, lauk pauk ayam, brumbuhan dan juga tuak. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.

Malam Pengrupukan biasanya dilakukan dengan pawai Ogoh-ogoh. yaitu mengarak patung yang mudah dibakar berbentuk raksasa atau demit sebagai perlambang mengusir Batara Kala dari dalam diri manusia. Saya khusus berkunjung ke Desa Petulu di Gianyar terpatnya di Banjar Nagi karena setiap malam Pengrupukan pemuda desa ini melakukan ritual perang api dengan saling melempar sabut kelapa yang sudah dibakar. Semua ritual ini sebagai simbol mengusir nafsu dan emosi dalam diri manusia sebelum memulai tahun baru besoknya.

Perang api di Desa Petulu, Banjar Nagi, Gianyar.

Ogoh-ogoh


Setelah selesesai acara pada malam Pengrupukan semua warga desa kembali ke rumah dan mulai mematikan semua lampu di desa dan kota, jadi sebagian malam hari itu seluruh Bali sudah mulai gelap. Nyepi akan dimulai jam 6 pagi besoknya selama 24 jam dengan melakukan Catur Brata, yaitu amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa, brata, yoga, dan semadhi.



Penghargaan untuk Manusia, Alam dan Tuhan.


Ada kalanya manusia berhenti sejenak beraktivitas, dari setahun penuh kita beraktivitas, hanya di hari Nyepi inilah kita mengalami perenungan yang dalam. Selama saya Nyepi di Bali saya merasakan banyak sekali manfaat bagi diri saya sendiri, terutama dalam menyadari hubungan antara manusia, alam dan sang pencipta. Walaupun saya bukan umat Hindu, tetapi selama Nyepi saya gunakan untuk melakukan ritual ibadah keyakinan saya sendiri. Sungguh berbeda rasanya, saya bisa merasakan bagaimana suara-suara alam yang jarang saya dengar bila sedang di kota atau di tempat lain pada umumnya. Saya bisa mendengar suara ombak dari jauh, saya bisa mendengar suara antar daun yang bergesekan, saya bisa mendengar suara serangga kecil, bahkan saya bisa mendengar hembusan nafas sendiri, suara nafas yang tidak pernah saya perhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada sebuah kesadaran yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Saya pernah bertemu seorang Biksu Buddhis dan dia memberikan saya sedikit pesan bahwa cobalah saya berpuasa bicara dan disitu kita bisa lebih mengenal siapa jiwa kita. Ketika kita berhenti berbicara dan tidak membuat kebisingan dengan mulut, saya baru menyadari bahwa di dalam kepala saya sangat berisik. Suara-suara di dalam kepala seperti berlomba-lomba berkomentar dan itu ternyata sangat riuh sekali. Disitulah ternyata secara tidak sadar kita melakukan sebuah tindakan atas perintah dari suara didalam otak. Kadang kita tidak sadar kalau selama ini kita selalu menghakimi orang, atau menjelek-jelekan orang atau marah dengan orang. Bila pernah melihat film "Inside out" nah seperti itulah saya bisa mendengar suara dari empat sifat dasar manusia.

Tempat saya menghabiskan waktu selama Nyepi di Bali. Sebuah rumah tenang yang dijadikan penginapan.

Dengan Nyepi saya melatih untuk mengendalikan itu semua dan membuatnya kembali ke titik Nol, titik kosong. Titik dimana saya merasa menjadi bagian dari semesta ini. Lalu saya menghirup oksigen bersih dan mengeluarkan carbon dioksida secara perlahan. Selama Nyepi, tingkat polusi di Bali menurun drastis, Udara di seluruh pulau ini menjadi sangat bersih walaupun itu ditengah kota sekalipun. Ketika menghirup udara bersih ini saya juga menyadari kalau udara yang ada di Bumi ini tidak pernah kemana-mana. Udara yang saya hirup ini sama seperti  yang Siddhartha Gautama hirup, sama juga seperti yang Yesus hirup, Sama juga seperti yang Muhammad hirup, bahkan sama seperti yang Adam hirup. Perenungan di saat Nyepi ini seperti membuka pandangan saya terhadap suatu hal bahwa tidak ada yang berbeda dari kita semua. Kita sebagai manusia, bagian dari alam semesta yang tidak seharusnya merasa diri kita lebih unggul daripada manusia dan makhluk lain.

Malam yang penuh bintang ketika Nyepi


Malam ketika Nyepi sangat gelap. Tidak ada satupun lampu yang dibolehkan menyala. Gelap total. Tapi kegelapan ini yang membuat malam ini sangat terang karena jutaan bahkan miliaran bintang di langit sangat jelas terlihat. Pemandangan yang sangat spektakuler dan tidak mungkin kita lihat apabila kita sedang berada di tengah kota yang penuh dengan lampu. Hal yang paling sering saya lakukan ketika Nyepi adalah berbaring di rooftop atau taman di dalam hotel lalu melihat ke angkasa melihat sabuk Galaksi Bimasakti dan disitu saya merasa sangat kecil. saya melihat detail sekali angkasa yang luas di depan mata. Saya merasa Tuhan sedang hadir di dalam kekaguman saya terhadap karyanya.

sesajen

Keesokan harinya setelah jam 6 pagi ritual Nyepi selesai dan semua warga keluar rumah untuk melakukan Ngembak Geni, yaitu berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kemudahan dan kebaikan sehinggan bisa menjadi manusia yang baru untuk menjalani kehidupan kedepan. Sama seperti Hari Lebaran, seusai Ngembak Geni semua warga bersilaturahmi ke rumah sanak saudara dan saling maaf-meaafkan. Menurut saya tradisi asli silaturahmi dan saling maaf-memaafkan inilah yang pada akhirnya tetap digunakan oleh umat beragama di Nusantara ini ketika hari raya tiba.



Di berbagai desa di Bali hari Ngembak Geni ini dirayakan secara beragam, salah satunya di Desa Sesetan di Denpasar, sekelompok muda-mudi merayakannya dengan festival ciuman. Saya melihat ini bukan sebagai tindakan yang amoral, melainkan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan.

Ternyata Nyepi mengilhami dunia untuk membuat 'World Silent Day' setiap tanggal 21 Maret. Jadi, setiap tanggal 21 Maret warga dunia tak melakukan aktifitas keluar rumah serta mematikan lampu mereka selama 24 jam. Satu tahap yang sangat baik setelah Earth Hour.


"Tidak ada hari raya manapun yang memberikan kesempatan untuk menghormati alam semesta dan Tuhan yang besar ini selain Nyepi"


Bukan tanpa alasan mengapa saya berangkat ke Bali ketika Nyepi. Dalam pengalaman pendidikan religius saya dari kecil saya selalu diberi dogma tentang kebenaran dalam agama saya, oke itu tidak menjadi masalah bagi saya, tetapi saya selalu diberi dogma kalau ajaran agama selain agama yang saya anut itu salah, penyembah berhala, penyembah gunung, penyembah pohon, penyembah setan dan lain-lain. Waktu saya kecil saya sangat meyakini hal itu dan menganggap orang-orang yang berbeda keyakinan dengan saya sudah pasti salah. Setelah saya dewasa saya baru menyadari bahwa spiritualitas tidak segamblang itu pola berfikirnya. Ada rasa dalam diri ingin mendalami lagi tentang itu. Mendalami yang justru membuat saya terbawa untuk menggali lebih dalam lagi tentang hakikat manusia dan alam, oleh karena itu saya terbang menuju Bali untuk merasakan suasana masyarakat dan spiritualnya.

Mengikuti Upacara

Dari semua ritual keagamaan yang ada di seluruh dunia menurut saya Nyepi ini sangatlah istimewa, Bila di tempat lain hari raya selalu dirayakan dengan gegap gempita, di Bali Hari Raya Nyepi dirayakan dengan kesunyian dan penuh dengan perenungan. Saya pernah datang ke beberapa perayaan hari besar agama Hindu di India tetapi tidak ada yang seperti di Bali. Di India semuanya dirayakan dengan tarian, nyanyian dan festival yang ramai, kebalikannya dari Nyepi di Bali. Dalam perayaan agama saya sendiri yaitu pada bulan Ramadhan, kadang implementasinya tidak sampai pada umatnya. Seharusnya puasa 30 hari itu menjadi perenungan juga, tetapi pada akhirnya menjadi bulan yang penuh konsumtif, baju baru, kue, makanan dan lain-lain. ya itu tergantung umat yang melaksanakannya. Tapi yang perlu diberi apresiasi adalah ketika Nyepi kita menghemat miliaran uang untuk pasokan listrik dan energi BBM, memberikan udara bersih untuk alam dan lingkungan dan juga memberikan kesempatan merenung untuk kita sebagai manusia atas keagungan Tuhan. Tidak ada hari raya manapun yang memberikan kesempatan untuk menghormati alam semesta, manusia dan Tuhan yang besar ini selain Nyepi.

"Karena pada hakikatnya manusia terlahir ke dunia dalam kesunyian dan akan meninggalkan dunia ini pun dalam kesunyian kembali"



The Wisdom of Bali


Dari sinilah akhirya saya bertekad untuk berkeliling dunia dan mengenal lebih dalam lagi tentang eksistensi Tuhan lewat berbagai ragam budaya dan ritual yang dijalankan manusia di Bumi ini. Bersama dengan kawan di Embara Films, kami akan mendokumentasikan perjalanan spiritual ini  kedalam sebuah film berjudul "HOMA". 




6 komentar:

  1. Aaaa Galiih ini harusnya jadi materi buku kitaaa.. hihi udah bulan Maret belum terealisasi nih :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha iya nih, di Bloh ini gw tulis point-point nya aja Ilma,nanti di buku kita tulis lebih mendalam lagi ya :)

      Hapus
  2. Tulisannya tambah bagus aja, Lih! Berpuasa bicara, itu kayaknya perlu banget deh heuheuehu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, nuhun Ulu. ini juga berkat banyak baca blognya Ulu :). Iya Ulu, cobain deh puasa bicara. kita jadi lebih banyak berantem dengan diri sendiri di kepala. hehe... tapi pelan-pelan melatih kita untuk bisa mengendalikan ego dan lebih banyak berfikir cermat sebelum bertindak. karena biasanya mulut lebih tajem bisa nyerang orang, apalagi kalau kita emosi. Di Era informasi ini selain mulut, jari-jari juga lebih tajem nih. bisa jadi pengganti mulut di sosial media. mungkin kedepannya juga harus ada puasa comment dan bikin status di Sosmed ya . hehe

      Hapus