Senin, 10 Agustus 2015

HIROSHIMA, SAKSI KELAM PERANG DUNIA



Hiroshima adalah kota di Jepang yang paling sering saya dengar di dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, beberapa menyambut gembira dengan kehancuran kota ini karena menjadi pembuka kesempatan untuk pemuda Indonesia mempercepat proses proklamasi kemerdekaan. Tetapi dari semua sejarah yang saya dapat semenjak sekolah tidak ada sedikitpun sudut pandang dari sisi humanisnya. Apapun sisi positifnya untuk Indonesia, tetap saja tragedi kemanusiaan di Hiroshima itu tidak bisa dibenarkan. Hal ini yang mendorong saya untuk terbang ke Jepang dan menggali cerita dan sejarah dari sudut pandang yang lain. 

Ledakan Bom Atom Hiroshima 6 Agustus 1945 difoto dari Udara

Tanggal 6 Agustus 1945 adalah hari paling kelam dalam sejarah kemanusiaan dan perang dunia. ratusan ribu orang meninggal dalam beberapa detik, dan sisanya meninggal dalam rentang waktu 20 tahun setelahnya akibat radiasi yang diakibatkan oleh bom atom. 

Pagi itu saya bergegas dari Kyoto Station untuk mengambil tiket Shinkansen menuju ke Osaka dan dilanjut ke Hiroshima. Sesampainya di Hiroshima saya langsung naik bus menuju ke Hiroshima Peace Memorial Park yang merupakan ground zero dimana bom atom meledak 550 meter diatas langitnya. Bom Atom ini sengaja diledakan di langit agar efek ledakannya bisa masif dan menghembuskan gelombang panas yang luas dan menghancurkan seluruh kota. Masyarakat setempat sempat mengira kalau itu adalah "anak matahari". 

Objek utama yang ada di Hiroshima Peace Memorial Park adalah Atomic Bomb Dome, atau Genbaku Dome. Puing-puing bangunan ini dulunya merupakan gedung pameran industri milik kamar dagang kota dan dirancang oleh arsitek Czech Jan Letzel. Pada tahun 1945 ini merupakan gedung beton paling besar di sekitar area jembatan Aoi. sebagian besar bangunan pemukiman disekitar gedung ini berbahan kayu oleh karena itu ketika bom atom meledak diatas area ini seluruh bangunan langsung hilang, kecuali Genbabaku Dome yang juga hancur tetapi masih sedikit terlihat puing-puing dan struktur kubahnya yang meleleh. Pemerintah kota menjadikan puing gedung ini sebagai monument untuk mengingat dahsyatnya ledakan bom atom. Disamping Genbaku Dome ada jembatan Aoi yang dijadikan target utama jatuhnya bom karena bentuknya yang menyerupai huruf "T" dari atas. 
Saya mencoba berjalan diatas jembatan Aoi dan melihat ke sekeliling, dan membayangkan bagaimana suasananya saat itu.
Genbaku dome

Genbaku Dome dilihat dari Jembatan Aoi 

Hiroshima sebelum di bom atom

Hiroshima setelah di bom atom
Bola Merah adalah posisi bom atom yang meledak 550 meter diatas kota Hiroshima

Di bagian selatan taman ada Hiroshima Peace Memorial Museum dimana didalamnya berisi sejarah dan cerita dari korban. Nah inilah salah satu tujuan saya, melihat sudut pandang tragedi ini dari pihak Jepang. Suasana mencekam terasa begitu melihat barang-barang dan foto dari korban, banyak juga cerita menyedihkan dari beberapa korban yang selamat tapi berakhir cacat dan harus mempunyai keturunan yang cacat juga akbibat radiasi. Suasana disini jauh dari perasaan saya sebelumnya di Indonesia ketika membaca tentang bom Hiroshima. Dan yang saya simpulkan adalah bahwa korban-korban di Hiroshima banyak yang bingung kenapa ini terjadi di tempatnya dan penderitaan yang diakibatkan pengaruhnya sangat panjang. Kota Hiroshima dipilih karena dianggap kota penting dan merupakan basis militer dan industri di Jepang. Tetapi rata-rata masyarakat Jepang tidak tahu kekejaman yang dilakukan militernya diluar Jepang. Mereka hanya tahu penguasaan Manchuria, Korea dan Asia Tenggara adalah sebagai penyelamat dari penjajahan Eropa. Apalagi mereka tidak menyadari bahwa kejadian ini adalah pembalasan Amerika atas penyerangan Pearl Harbour di Hawaii. 

Hiroshima Peace Memorial Museum

Replika Little Boy, bom atom yang dijatuhkan di atas Hiroshima

Baju bejas korban bom atom yang terbakar. karena gelombang panas sehingga kulit dan kain menjadi menyatu. 

baju dan foto-foto korban. semuanya terbakar dan menyatu dengan kulit.


Keadaan masyarakat di kota Hiroshima pada saat itu masih sangat tradisional, banyak dari mereka masih tinggal dirumah-rumah kayu dan hanya bekerja sebagai pedagang dan bertani. Keadaan ekonomi diperparah dengan anggaran perang dunia yang besar sehingga menuntut mereka dalam himbauan pemerintah untuk menyumbangkan peralatan logam rumah tangga seperti panci dan lain-lain untuk dilebur menjadi alat perang. 

Dari kacamata kemanusiaan memang yang selalu jadi korban perang adalah rakyat sipil yang tidak mengerti akan perang tersebut. Merekalah yang paling pertama menderita dan mendapatkan traumatik yang dahsyat. 

Saya menulis Blog ini adalah untuk mecari sudut pandang dari beberapa kisah dari tragedi kemanusiaan Hiroshima, diantaranya adalah sudut pandang dari Paul Tibbets yaitu pilot pesawat B-29 Enola Gay membawa bom atom Little Boy, Shuntaro Hida yaitu dokter militer di Hiroshima, Pater Klaus Luhmer yang menjadi saksi kedahsayatan bom atom dan Sadako Sasaki yang menjadi korban akibat radiasi. Semua data dan kisah sebagian saya dapatkan dari kunjungan ke Hiroshima dan dari beberapa sumber.  


PAUL TIBBETS

Paul Tibbets dan tim





Pesawat B-29 Enola Gay membawa bom atom Little Boy dengan panjang 3 meter, lebar 71 cm, dan berat 4000 kg. Uraniumnya dipasok dari pabrik raksasa di Oak Ridge, Tennessee selama Proyek Manhattan. Awak B-29 Enola Gay terdiri dari: Paul Tibbets (pilot), Robert A. Lewis (kopilot), Ted Van Kirk (navigator), William S Parsons (yang mengaktifkan bom sebelum dijatuhkan), Thomas W. Frebee (juru bidik/pelepas bom), Bob Caron (defender belakang pesawat bagian ekor untuk menjaga kemungkinan serangan Jepang). Tepat tengah malam 5 Agustus 1945, mereka lepas landas.

6 Agustus 1945, pukul 8.15 waktu Jepang, B-29 telah sampai diatas langit Hiroshima. Dari ketinggian hampir 10 ribu meter mereka menghitung. Little-Boy dijatuhkan. Dalam satu detik, kota Hiroshima tidak ada. Ratusan ribu orang meninggal seketika, sisanya terluka seumur hidup, dan hanya sedikit yang bertahan.

Manuver penyelamatan dari gelombang ledakan bom atom pun dilakukan. “Satu cahaya yang terang memenuhi pesawat dan kami memutar pesawat kembali untuk melihat Hiroshima. Kota tersebut tersembunyi di balik awan yang mengerikan itu,” kenang Paul. Sekembalinya ke pangkalan udara di Pulau Tinian pukul 3 sore, dia disambut oleh Jendral Carl Spaatz dan memberi medali Distinguished Service Cross dan anggota awak lain mendapat Air Medals.

Rakyat Jepang mengingat peristiwa bom atom Hiroshima sebagai kejadian paling menyedihkan. Tiap tahun mereka memperingati dan berdoa untuk korban meninggal, yang menderita seumur hidup, atau yang kehilangan anggota keluarga. Hingga kini, tindakan ini masih dipertanyakan. Dunia menggugat. Amerika sendiri berdalih bom atom telah menyelamatkan nyawa-nyawa yang akan lebih banyak hilang jika perang terus dilanjutkan. Seperti apa yang diyakini Paul dan awak lainnya: “Ya, kita akan membunuh banyak orang, tapi kita akan menyelamatkan banyak nyawa. Kami tidak perlu menyerang (Jepang).”
sumber : www.historia.id

SHUNTARO HIDA

Shuntaro Hida

Sabtu malam tanggal 5 Agustus 1945 dokter Shuntaro Hida mendapat panggilan untuk mengobati deorang anak yang sakit di desa Hesaka, sekitar 6 km dari Hiroshima. Dokter Shuntaro Hida yang kala itu berumur 28 tahun adalah tim medis di rumah sakit militer Hiroshima. Sebagai pangkalan militer di Jepang, Hiroshima memang memerlukan sejumlah dokter untuk merawat para serdadu jepang yang bertugas di medan perang.

Minggu pagi tanggal 6 Agustus 1945 tiba-tiba terdengar suara dentuman keras dari langit Hiroshima.
Shuntaro melihat sebuah cendawan hitam raksasa membumbung ke langit Hiroshima. Setelah bom atom dijatuhkan, dia melihat seorang wanita yang sempat dia kira compang-camping karena pakaian yang dikenakannya. Ternyata dia baru menyadari itu bukan karena pakaian, melainkan karena kulit tubuh yang terkelupas.

Bagi Shuntaro Hida, kengerian nyata dari serangan nuklir itu malah adalah dampak kesehatan yang tidak terlihat.

"Aspek paling kejam dari serangan nukjlir adalah bukan kehancuran biadab tubuh manusia atau luka yang terlihat, melainkan kehidupan setelah dampak kehancuran itu," kata Hida yang menolong sekitar 10.000 penyintas bom atom.

Setelah lima tahun pemboman di Hiroshima semakin banyak orang yang mengeluh karena terserang leukemia.

Kini setelah 70 tahun kejadian paling mengerikan itu Shuntaro Hida selalu hadir di upacara peringatan. Bahkan diumurnya yang telah berumur 98 tahun dia masih memberikan kesaksian kepada orang-orang tentang kelamnya perang dunia dan bom atom.

umber : www.antaranews.com


PATER KLAUS LUHMER

Pater Klaus Luhmer

Tanggal 6 Agustus 1945 Pater Klaus Luhmer berdoa di taman biara Jesuit di Hiroshima, ia tiba-tiba mendengar sebuah ledakan.

"Pukul 8.15 saya mendengar ada ledakan. Kemudian muncul sesuatu yang tidak saya pahami. Nampak sesuatu yang lebih silau daripada matahari. Seperti setengah bulatan. Instink saya mengatakan, bahwa yang meledak itu adalah bom perusak yang meledak di balik bukit.“

Ternyata yang dilihat Pater Luhmer pagi itu bukan bom perusak biasa. Akan tetapi, ledakan bom atom yang terjadi di pusat kota Hiroshima. Lokasi kejadian berjarak sekitar empat kilometer dari gedung biara. Pater Luhmer segera mencari perlindungan di taman. Lalu ia bersembunyi di ruangan bawah tanah. Ia selamat.

"Ketika saya melihat kilauan itu, tiba-tiba muncul gelombang yang amat panas. Rumah kami bergetar. Hampir semua genteng jatuh seperti hujan dan jendela pecah. Di sekeliling rumah puing-puing bertaburan."

Tidak lama kemudian stasiun berita BBC menyiarkan bahwa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom terhadap kota Hiroshima. Warga Hiroshima tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Pater Luhmer naik ke atas bukit di belakang gedung biara. Dari sana ia melihat kota Hiroshima terbakar. "Saat itu langitnya begitu terang. Tiba-tiba, waktu saya berdiri di atas bukit, awan hitam nampak di atas langit dan hujan mulai turun. Hujannya hitam.“

Setelah Pater Luhmer kembali ke biara, sejumlah korban berhasil keluar dari pusat kota. Kulit mereka terkelupas, namun masih menyangkut seperti lap yang lebar di tulangnya. Pakaian mereka seakan-akan meleleh menyatu dengan kulitnya. Para pastur mengubah meja makannya menjadi meja periksa dan mulai merawat korban terluka. Beberapa pastur pergi ke kota. Mereka dihampiri sekelompok korban terluka. Api berkobar di mana-mana. Rumah dan toko roboh. Korban tewas dan terluka terperangkap di antara puing-puing dan reruntuhan bangunan.

"Saya melihat tigapuluh atau empatpuluh tentara berseragam lengkap yang terluka bakar. Mereka tidak dapat berteriak lagi. Mereka hanya merintih, "air, air“. Kebetulan ada sumur air, sehingga kami dapat memberikan mereka air minum. Tetapi, jumlah kami tidak cukup untuk membantu mereka. Saat itu dibutuhkan ratusan tangan untuk mengangkut korban."

Selama dua hari, para pastur Jesuit membantu para korban di kota. Kemudian militer Jepang mengkerahkan pasukannya. Jalan masuk ke kota ditutup rapat-rapat. "Tentara diinstruksikan untuk mengeluarkan mayat dari reruntuhan, lalu ditumpuk dan dibakar. Tanggal 8 Agustus militer membersihkan kota dari mayat-mayat yang mulai membusuk."

Dalam keadaan lelah para pastur kembali ke biara. Namun, setiba di rumah, tugas baru menanti mereka. Seorang anak perempuan yang belajar piano dengan Pater Luhmer meminta pertolongannya. Ayahnya meninggal. "Kata anak itu, mohon bantu kami untuk membuang mayat-mayat."

Pater Luhmer mulai mengumpulkan jerami dan kayu kering untuk membakar mayat. "Tercium bau busuk yang tidak terlupakan selama hidup saya. Dan saya tidak dapat menggambarkan situasinya ketika mayat-mayat yang sudah busuk itu dibakar. Orang-orang yang pernah mangalami situasi seperti itu, akan menjadi lebih keras. Sungguh menakjubkan bagaimana orang-orang itu, setelah mengalami bencana, memiliki semangat untuk bangun kembali. Bangun, bangun dan terus bangun."

*Klaus Luhmer yang dilahirkan di Pulheim, dekat Köln, pada 28 September 1916. Ia meninggal pada 1 Maret 2011 di Tokyo, Jepang.
sumber : www.dw.com


SADAKO SASAKI

Sadako Sasaki

Minggu pagi yang cerah di musim panas, sama seperti minggu-minggu sebelumnya di Hiroshima. suasana sedikit santai, kesibukan mulai menggeliat di pusat kota, di pasar-pasar dan tempat bisnis lainnya. Hari minggu itu tanggal 6 Agustus 1945, Sadako Sasaki yang masih berumur dua tahun tinggal bersama kedua orang tuanya di dekat jembatan Misasa di dekat pusat kota. Pukul 08:15 pagi tiba-tiba terlihat ada cahaya yang silau di langit kota. Orang - orang berteriak kalau itu adalah matahari yang jatuh. Sadako kecil tidak mengerti apa yang terjadi, yang dia rasakan hanya gelombang panas yang dalam hitungan detik langsung menyambar rumahnya. Rumah Sadako berjarak 1,7 Km dari pusat ledakan bom. Beruntung Sadako Sasaki tidak ikut tewas dalam tragedi kemanusiaan ini, dia tidak paham apa itu bom atom dan kenapa harus terjadi di tempat tinggalnya.

Sembilah tahun kemudian tepatnya bulan November 1954 Sadako yang sudah berumur 11 tahun merasakan bengkak di bagian leher dan belakang telinganya. Beberapa bulan kemudian tepatnya Januari 1955, bercak-bercak ungu muncuk di kaki Sadako dan dia di diagnosa menderita Leukemia. Sadako masuk rumah sakit bulan Februari 1955 dan disitu dia merasakan penderitaannya. Agustus 1955 Chizuko Hamamoto, sahabat Sadako datang menjenguknya di rumah sakit, Chizuko tidak bisa berbuat apa-apa ketika melihat penderitaan sahabatnya. Untuk memberinya harapan dan semangat hidup Chizuko membuatkan origami burung bangau kertas atau paper cranes sebagai simbol harapan dimana dalam mitologi jepang dikisahkan apabila kita membuat origami bangau kertas sebanyak 1000 buah, maka doa akan dikabulkan. Sadako akhirnya bertekad membuat 1000 bangau kertas dan berdoa untuk perdamaian dunia dan semoga tidak ada lagi perang di bumi yang dapat menimbulkan korban seperti dirinya. Di hari-hari terakhirnya sadako terus membuat bangau kertas, bahkan kertas obat dan kertas pasien disebelahnya pun dia pakai untuk membut origami ini dengan harapan yang tinggi. Sampai pada bangau ke 644 Sadako tidak bisa bertahan lagi dan tanggal 25 Oktober 1955 Sadako menghembuskan nafas terakhirnya pada umur 12 tahun di rumah sakit.

Sebelum upacara pemakaman, semua teman sekokah Sadako bergotong royong membuat 356 origami bangau kertas untuk menggenapkannya menjadi 1000 bangau kertas dan dimakamkan bersama dengan jenazah Sadako. Kisah ini menjadi simbol semangat para korban bom atom Hiroshima yang masih harus berjuang hidup bahkan 10 tahun setelah tragedi tersebut untuk perdamaian dunia.

Sejak awal tahun 1950 anak - anak di Hiroshima marak diberitakan terjangkit Leukemia yang disebabkan oleh pancaran radioaktif Bom atom 1945 silam. Anak-anak yang terpaksa harus menjadi tumbal dari permasalahan Perang Dunia II yang tidak mereka pahami sama sekali. Kisah Sadako akhirnya diangkat menjadi kisah inspiratif di Jepang dan dijadikan simbol perdamaian dan semangat hidup.

Setelah kematiannya, para teman sekelas dan sahabat Sadako menerbitkan kumpulan surat untuk menggalang dana demi pembangunan suatu monumen untuk mengenangnya dan seluruh anak yang meninggal dunia karena dampak bom atom. Tahun 1958, sebuah patung Sadako yang memegang burung bangau emas dipajang di Taman Monumen Perdamaian Hiroshima.

Di kaki patung ada plakat yang berbunyi sebagai berikut:
これはぼくらの叫びです これは私たちの祈りです 世界に平和をきずくための

(Kore wa bokura no sakebi desu. Kore wa watashitachi no inori desu. Sekai ni heiwa o kizuku tame no.)
"Ini adalah seruan kami. Ini adalah doa kami. Untuk membangun kedamaian di dunia."

Patung Sadako Sasaki yang memegang origami bangau




Yang menarik dari tragedi ini adalah tidak ada sedikitpun rasa dendam atau sakit hati dari keluarga korban kepada Amerika, justru tragedi ini dijadikan simbol dalam menyebarkan perdamaian. Dua tahun setelah tragedi bom atom ini walikota Hiroshima Shinzo Hamai langsung mendeklarasikan Hiroshima sebagai kota perdamaian dan memulai kampanyenya untuk menghapuskan nuklir dari bumi. Sampai sekarang deklarasi perdamaian selalu dikumandangkan di Hiroshima setiap tahun dan mengundang para perwakilan pemimpin dari seluruh dunia.

Setelah kunjungan saya ke Hiroshima saya mendapatkan banyak sekali pesan dan kesan, terutama mengenai kemanusiaan dan perdamaian. Tragedi yang menjadi cikal bakal terbentuknya negara Indonesia ini saya pandang sebagai kejadian yang mendewasakan manusia dalam hakikatnya hidup di bumi. Jepang yang langsung sadar akan pentingnya perdamaian bisa menjadi pelajaran bagi semua bangsa di dunia bahwa perang apapun wujudnya akan selalu membawa malapetaka bagi kemanusiaan. Jadi sebarkanlah pesan perdamaian ke seluruh penjuru dunia, dan bawalah semangat Hiroshima.



Hiroshima, 23 July 2014

6 komentar:

  1. Dapet Info sejarahnya ttg Hiroshima.... bacanya tegang nih.. hihiihi.. tks mas buat infonya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama :) .. semoga bisa menambah sudut pandang baru

      Hapus
  2. Sisa Genbaku itu masih aslikah? Kalau iya kokoh sekali berarti..
    Sepakat sekali, sejarah memang perlu dilihat dari berbagai sisi dan cara pandang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul... masih asli dan kokoh strukturnya.
      Sejarah punya banyak perspektif ya..

      Hapus
  3. terimakasih sudah berbagi info yang sangat bermanfaat yah

    keuntungan member alfamart

    BalasHapus